Karya Tulis Tentang Bonus Demografi

Karya Tulis yang akan kami posting dalam website seputar pembahasan ini adalah Karya Tulis tentang kependudukan. Khususnya menyikapi masalah bonus demografi sebagai salah satu trending topic prihal kependudukan saat ini.

Tentunya karya tulis ini bukan semata-mata diposting karena rasa kesombongan namun lebih pada sikap agar banyak orang yang mengetahui, bahwa bonus demografi sangat penting untuk kita pahami, telaah sekaligus kita kaji secara mendalam.

Kebetulan Karya Tulis tentang Bonus Demografi pernah dibawakan dan mendapatkan hasil yang cukup menggembirakan, yakni menjadi juara satu di tingkatan provinsi yang ada disalah satu provinsi di Indonesia. Semoga membatu para pembaca yang sedang mencari reverensi seputar bonus demografi.

Judul Karya Tulis tantang Kependudukan atau Karya Tulis tentang Bonus Demografi adalah “Rekonsiliasi Edukatif dalam Optimalisasi Bonus Demografi Melalui SBM: Sekolah Bahaya Merokok”

Selengkapnya silahkah baca postingan dibawah ini:

Abtrak Karya Tulis.
REKONSILIASI EDUKATIF DALAM OPTIMALISASI BONUS DEMOGRAFI MELALUI SBM : SEKOLAH BAHAYA MEROKOK
Pada tahun 2020-2030 Indonesia sudah diprediksi akan memasuki fase bonus demografi (demographic dividen) dimana penduduk umur produktif jumlahnya sangat besar, oleh karena itu agar bonus demografi dapat di optimalisasikan perhatian terhadap anak dan remaja harus diupayakan lebih. Akan tetapi sayangnya perhatian tersebut kini belum sepenuhnya didapat terutama masalah kesehatan yang terjadi akibat rokok. Hal ini terbukti dari data Susenas 1995,2001, 2004, Riskesdas 2007 dan 2010, perokok remaja laki-laki meningkat lebih dari 2 kali lipat pada tahun 2010, perokok remaja perempuan meningkat tajam lebih dari 5 kali lipat, dan ternyata perokok usia anak-anak (10-14 tahun) pun diperkirakan naik 6 kali lipat selama 12 tahun terakhir. Kondisi ini diperparah dengan ditemukannya 1,9% perokok usia balita yang mulai merokok di usia empat tahun (studi KPAI dan UHAMKA: 2010). Padahal penyebab kematian seluruh kelompok umur Indonesia menurut DR. Ekowati Rahajeng, SKM, M.Kes bersumber dari Riskesdas 2007, adalah penyakit tidak menular (PTM) seperti kanker, stroke, penyakit jantung dan  pembuluh darah sebanyak 59,2%. Faktor resiko PTM itu sendiri adalah sepanjang hayat yang disebabkan salah satunya efek rokok hingga pada ahirnya apabila hal ini dibiyarkan bonus demografi bukan lagi dianggap sebagai peluang tapi ancaman karena banyaknya usia produktif yang terserang penyakit. Oleh karena itu upaya pemerintah beserta berbagai eleman masyarakat yang sadar akan bahaya merokok sudah sepantasnya memberikan pendidikan (edukatif) terhadap anak dan remaja tetang dampak buruk akibat merokok. Melalui SBM (Sekolah Bahaya Merokok) yang dilakukan dengan mengedepankan pendidkan referentif, menanamkan  rekonsiliasi edukatif dengan dua dimensi; aturan kontitusi dan pendekatan psikologi atau keagamaan diharapkan mampu memberikan sebuah solusi imajenatif dalam meminimalisir banyaknya kasus merokok. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah kajian pustaka dengan pendekatan penulisan deskriptif kualitatif. Jenis data yang digunakan dalam penulisan ini merupakan data skunder yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang relevan dengan topik yang ditulis, baik dari buku, makalah, hasil penelitian, ataupun internet. Analisis data dalam penulisan ini adalah dengan cara bahan yang telah terkumpul kemudian diolah, ditelaah, dan direduksi, lalu diprotek dengan analisis deskriptif untuk disarikan dalam sebuah karya yang memfokuskan rekonsiliasi edukatif dalam optimalisasi bonus demografi melalui SBM: Sekolah Bahaya Merokok.

Kata Kunci : Rekonsiliasi Edukatif, Bonus Demografi dan Sekolah Bahaya Merokok

BAB 1
1.1. Latar Belakang


Kesehatan merupakan suatu faktor yang amat sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia, begitu pula dengan kesehatan seluruh organ tubuh (jasmani) seperti jantung dan paru-paru yang bisa terinfeksi penyakit jika mengonsumsi rokok, oleh sebab itu apabila hal ini dibiarkan untuk anak-anak dan remaja realisasi mimpi mencapai bonus demografi yang optimal akan sangat sulit untuk terwujud. Karena dewasa ini bukan hanya diperlukan generasi berkualitas (soft skill) namun juga berpendidikan dan sehat. 

Terkait dengan bonus demografi kalau pemerintah tidak mengendalikan rokok dengan cara-cara konfensional dan maksimal sama saja tidak memberikan anak kesempatan tumbuh kembang secara leluasa, malah yang membahayakan yang dikatakan peluang bonus Demografi pada tahun 2020-2030 itu menjadi musibah demografi bagi bangsa ini. 

Menurut organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) jumlah perokok di dunia pada tahun 2009 mencapai 1,1 milyar yang terdiri dari 47% adalah pria, 12% adalah wanita dan 49% adalah anak-anak. Menurut Dr Robert Kim-Farley, utusan WHO di Jakarta, terdapat pergeseran persentase perokok dari pria ke wanita dan anak anak (kammi-aceh.org). Oleh karena itu permasalahan rokok merupakan hal yang sangat memprihatinkan dimana tumpuan pembangunan suatu bangsa bangsa adalah pada anak-anak dan wanita yang diletakan sebagai sebjek pendidikan terhadap anak.
Faktor penyebab penyakit dalam rokok adalah bahan utamanya sendiri yaitu tembakau yang mengandung alkaloid yang beracun yaitu nikotin, nikotinin, nikotein dan nikotelin. Gejala kerancunannya berupa diare, muntah, kejang-kejang dan sesak nafas (Suryo Sukendro, 2007: 28). Meskipun tidak bisa di nafikan terdapat juga dampak positifnya yakni menenangkan fikiran, akan tetapi bila ditinjau lebih dalam akan lebih banyak dampak negative daripada potif yang ditimbulkan.

Oleh karena hal demikianlah latar belakang bahaya merokok yang dapat menyebabkan ancaman bagi bonus demografi di Indonesia diperlukan
rekonsiliasi edukatif terhadap anak dan remaja yang sedang menempuh pendidikan guna mengoptimalisasikan bonus demografi yang ada melalui sebuah gagasan sekolah bahaya merokok.

Hingga pada ahirnya seorang anak dan remaja terdorong untuk menghindari prilaku merokok dengan menanaman nilai referentif akan tetapi tidak mengurangi esensi arti yang diberikan, karena masalah yang dialami dalam negara berkembang sebenarnya tidak disebabkan gagalnya usaha pengendalian penduduk, akan tetapi karena usaha tersebut dengan berbagai programnya masih terlalu sulit untuk melihat ancaman yang ada.

1.2. Rumusan Masalah
Bagaiamana mewujudkan Sekolah Bahaya Merokok (SBM) sehingga dapat menjadi desaigt keratif dan inovatif dalam metode pembelajaran sehingga dalam kaitanya mampu memberikan solusi mengoptimalan bonus demografi yang ada pada anak dan remaja diusianya ketika produktif.
1.3. Tujuan
Tujuan karya tulis ini adalah untuk memberikan solusi imajenatif serta referentif didalam pengadaan Sekolah Bahaya Merokok (SBM) sehingga Indonesia mampu mengoptimalkan bonusi demografi pada tahun 2020-2030 mendatang.
1.4. Manfaat

Manfaat dari kepenulisan karya ilmiah ini adalah bisa meminimalisirnya jumlah perokok pada usia anak dan remaja dengan adanya Sekolah Bahaya Merokok (SBM) sebagai metode pengoptimalkan bonus demografi.

BAB II

2.1. Rekonsiliasi Edukatif


Rekonsialisasi merupakan salah satu cara referentif yang bisa dijadikan rujukan didalam membenahi problematik edukatif yang ada di Indonesia saat ini, mengingat Indonesia diantara ancaman atau peluang bonus demografi (demographic dividen) dilihat daripada banyaknya jumlah perokok anak-anak dan remaja.
Pengertian rekonsiliasi sendiri sebenarnya sering dipakai dalam upaya mengatasi konflik perpecahan akan tetapi menurut Aziz Abdul (2006), rekonsiliasi adalah tindakan menciptakan proses penyusunan kembali tatanan atau aturan-atauran yang ada didalam masyarakat, hal itu dilakukan sebagai upaya mengatasi degradasi moral. Hingga pada perwujudanya rekonsiliasi edukatif dalam pelarangan rokok bagi anak-anak dan remaja dinilai memerlukan dua dimensi.

Pertama, rekonsiliasi edukatif memerlukan tindakan yang berlandasakan dengan hukum dan kemampuan pada penyediaan ganti rugi yang sebanding. Hal ini dapat kita telaah landasan Negara dengan pengawasan produksi rokok yang sudah tertera gambar mengerikan, melalui Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 pencantuman peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau mulai berlaku yang mulai berlaku secara efektif pada hari Selasa, 24 Juni 2014 (economy.okezone.com) serta adanya pengawasan ketat Pasal 199 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 60 PP No 109 Tahun 2012, sedangkan seoarang anak dan remaja menurut UU No. 23 tahun 2002 menyatakan tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Dengan demikian edukatif terhadap pelarangan merokok untuk anak memiliki landasan konstitusi yang saling berkaiatan.

Sedangkan dimensi kedua bercorak psikologis dan spiritual yaitu rekonsiliasi edukatif yang maksudkan sebagai upaya untuk membangun dan menyususn kembali peran pendidikan yang bukan hanya membentuk manusia yang cerdas otaknya dan trampil dalam melaksanakan tugas, namun diharapkan menghasilkan manusia yang dapat dengan sungguh-sungguh menjaga kesehatan dalam menjalankan itu semua.

Oleh karena itu sebagaimana pada dimensi pertama memerlukan landasan fungsionalisme Negara untuk mengaturnya berupa wujud kongrit undang-undang sedangkan dimensi yang kedua juga menuntut menyiapkan pendekatan psikologi yakni berupa metode edukatif yang referentif agar pelarangan merokok bagi anak dan remaja dapat diterima secara perlahan, selain itu juga menyiapkan landasan keagamaan yang kokoh berupa pemahaman atau penafsiran agama yang memenuhi kebutuhan dan sejalan tuntutan perkembangan masyarakat.

Kedua proses perwujudan rekonsialisasi edukatif dengan dua dimensi; kontitusi dan psikologi atau agama seperti itulah pada kesimpulanya akan mempu memanfaatkan bonus demografi pada tahun 2020-2030 secara optimal demi menjaga kesehatan dengan cara tidak merekok.

2.2. Bonus Demografi

Menurut Wongboonsin (2003) dalam paparan kepala BKKBN Nasonal Prof. dr. Fasli Jalal, PhD, SpGK di Univeritas Undayana. Mengartikan bonus demografi (demographic dividen) adalah Keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh menurunnya Rasio Ketergantungan sebagai hasil penurunan fertilitas jangka panjang.


Fartilitas sendiri, menurut Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1981) adalah kemampuan riil seoarang wanita untuk melahirkan yang dicerminkan dalam jumlah bayi yang melahirkan.
Sedangkan di Indonesia ramalan tentang bonus demografi akan menciptakan Windows of Opportunity pada 2020-2030 hal ini menurut diagram dari Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo SE MA PhD Head of Masters Program on Population and Labor University of Indonesia; 2011dalam pemaparan Kepala BKKBN sebagai data skunder dalam karya tulis yaitu sebagai berikut ;


Sumber :  Prof. Sri Moertiningsih Adioetomo SE MA PhD Head of Masters Program on Population and Labor University of Indonesia; 2011 (Dalam  Pemaparan Prof. dr. Fasli Jalal, PhD, SpGK)
Oleh karena demikian hal ini merupakan sebuah peluang bagi bangsa Indonesia untuk bisa bangkit dan bergerak dalam mewujudkan kesejahteraan sepenunya melalui peluang bonus demografi dimana menunjukan sekitar 60 persen penduduk Indonesia tergolong dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun). Komposisi demografi tersebut merupakan potensi yang dapat berdampak positif terhadap input dan produktivitas negara dan sangat bergantung pada kualitas sumberdaya manusia dari 60 persen penduduk produktif di tahun 2020-2030 yang tentunya sangat bergantung pada persiapan sedini mungkin dalam menyongsong bonus demografi.

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang harus diwujudkan sesuai cita-cita bangsa Indonesia. Pembangunan di  bidang kesehatan merupakan unsur yang amat penting dalam upaya menangkap peluang bonus demografi karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dan juga kesejahteraan masyarakatnya. Sesuai amanat passal 14 UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, “Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasipenyelanggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau untuk masyarakatnya”. Namun, upaya menyelenggarakan dan membina khususnya dalam industri rokok di Indonesia belum dapat dilaksanakan secara optimal. Hal ini dikarenakan Negara indonesia adalah 6 Negara penghasil tembakau terbesar didunia hingga memunculkan produksi industri kretek terbesar, alhasil penikmatnya pun lebih dari taraf ukuran termasuk anak dan remaja sebagai pelaku pembangunan dalam fase bonus demografi padahal UU No. 23 tahun 2002 menyatakan anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Menyikapi ancaman itu sebenarnya pemerintah juga berupaya sepenuhnya untuk dapat meminimalir pecandu rokok khususnya dikalangan anak-anak dan remaja, hal ini terbukti dengan tampilan bungkus rokok yang disahkan menjadi undang-undang Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 pencantuman peringatan kesehatan pada kemasan produk tembakau mulai berlaku yang mulai berlaku secara efektif pada hari Selasa, 24 Juni 2014 (economy.okezone.com) serta adanya pengawasan ketat Pasal 199 ayat (1) UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 60 PP No 109 Tahun 2012.

Akan tetapi disisi lain penyuluhan dan pembinaan dalam upaya meminimalisir jumlah penikmat rokok di Indonesia masih sangat kurang, oleh karena itu gagasan yang akan diterapkan adalah adanya SBM (Sekolah Bahaya Merokok) yang didalamnya ada dua konsentrasi metode pendidikanya.

Metode pertama adalah dengan pemberikan GAMIS (Gambar Misteri) terhadap anak dan remaja disekolah-sekolah, gambar misteri tersebut dipergunakan sebagai wahana mensosialisasikan bahaya merokok yang memperdayakan mantan pecandu rokok itu sendiri. Sasaranya adalah anak dan remaja yang ada disekolah formal ataupun non-formal, sebab kondisi anak yang berusia 6-12 tahun menurut hasil penelitian masih memiliki konsentrasi yang tinggi meningkatkan hasil belajar. Dalam penelitian mengenai otak dan pembelajaran menangkap kan fakta yang mengejutkan, yaitu apabila sesuatu dipelajari sungguh-sungguh (dimana perhatian yang tinggi dari seorang tercurah) maka struktur system syaraf kimiawi seseorang berubah. Di dalam diri seseorang tercipta hal-hal baru seperti jaringan syaraf baru, jalur elektris baru, asosiasi baru, dan koneksi baru.(Dra. Indrawati, M.Pd dan Drs. Wawan Setiawan, 2009).

Metode gambar digunakan menurut Tafsir Ahmad (1997) ada dua alasan yakni sebagai stimulasi visual yang berupa motivasi anak dalam belajar dan stimulasi vinsual sesuai dengan perkembangan psikologis anak-anak melalui media yang menjelaskan konsep abstrak menjadi konkrit dan menyederhanakan kerumitan pelajaran yang telah diberikan dapat menjadi acuan didalam motode pendidikan sekolah bahaya merokok.


Selanjutnya pada model kedua adalah menerapkan penyuluhan yang berasal dari terjemahan counseling yang merupakan bagian dari bimbingan. Dan penyuluhan adalah hubungan timbal balik antara dua orang individu (penyuluh dan klien) untuk mencapai pengetian tentang diri sendiri dalam hubungan dengan masalah-masalah yang dihadapi pada waktu yang akan datang (Natawijaya; 1987). Hingga pada ahirnya penyuluhan itu sendiri berisi diskusi mengenai cara menghindari kebiasaan merokok dan dilanjutkan tanya jawab tentang apa yang menjadi kendala bilamana anak dan remaja meninggalkan kebiasaan  merokok. Pematerinya adalah pecandu  rokok itu sendiri dan para ahli psikologi yang paham akan keinginan anak dengan menggandeng ahli agama yang didapat atas pola penerapan  rekonsiliasi edukatif.

Kesimpulanya solusi yang kami tawarkan adalah penekanan cara pembelajaran rekonsiliasi edukatif sehingga akan ada antara murid dan pelaku sekolah bahaya merokok sebagai hubungan kejiwaan yang saling membutuhkan , dalam perpisahan raga, jiwa mereka bersatu sebagai “Dwi Tunggal”. Sekolah bahaya merokok sebagai medianya dan anak didik belajar dalam proses interaksi edukatif yang menyatukan langkah mereka dalam suatu tujuan yaitu ”Kabaikan dalam sikap penghargaan” untuk mengoptimalisasikan bonus demografi pada tahun 2020-2030.

Adapun langkah-langkah strategis yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan sokolah bahaya merokok diantaranya sebagai berikut :



Tahapan
Subtahapan
Keterangan
Perencanaan
Penentuan Lokasi SBM
Penentuan lokasi SBM dilihat dari tingginya tingkat perokok menurut observasi dilingkungan sekitar dan dengan laporan dari pihak-pihak terkait yang valid.
Pelaksanaan
Perekrutan Mentor
Perekrutan Mentor Dilakukan Oleh Pemerintah Melalui BKKBN  Dan Dinas Kesehatan dalam upaya memilih mantan perokok, para ahli psikologi serta ahli agama selanjutnya untuk dididik menjadi mentor yang mengarahkan pada tindakan larangan merokok.
Pembentukan Bidang GAMIS
Merupakan bidang yang mewadahi para mantan perokok untuk bercerita tentang pengalaman sewaktu merokok kepada para peserta SBM
Pembentukan Bidang konsultasi
Merupakan bidang yang mewadahi para mentor (ahli Psikologi dan Agama) guna menanggapi berbagai pertanyaa yang ada dari para peserta SBM
Monev
Monitoring
Dinas Kesehatan dan BKKBN memonitor kegiatanSBM, melakukan pendataan mengenai keberlangsungan kegiatan, keberhasilan, serta kekurangan apa saja yang dialami dalam pelaksanaan SBM
Evaluasi
Pengevaluasian dilakukan Dinas Kesehatan dan BKKBN

BAB V
5.1. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulakan bahwa Sekolah Bahaya Merokok (SBM) bisa dimanfaatkan sebagai solusi imajenatif meminimalisir jumlah perokok anak dan remaja di Indonesia, dengan pendekatan referentif dan juga pelaksanaanya menggunakan rekonsialisasi edukatif yang ada dua dimensi; aturan kontitusi dan pendekatan psikologi atau keagamaan.

5.2. Saran

Saran yang bisa penulis berikan :

Perlu adanya penelitian lanjut untuk mengetahui efektifitas Sekolah Bahaya Merokok (SBM) terhadap kesadaran bagi para anak dan remaja untuk meminimalisir jumlah perokok sehingga ditemukan acuan lebih lanjut.


Sebagian sumber tulisan di ambil dari website; http://dosensosiologi.com

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Karya Tulis Tentang Bonus Demografi"